Selamat Datang Di Blog Barrock Alishlach

Sinkretisasi ; Islam dan Budaya Jawa Sebuah Pengantar Penggabungan antara Islam dan Budaya Jawa

Pengantar
Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau jawa oleh suku Jawa dan sukubangsa lainnya yang menetap di Jawa. Atau bisa dikatakan entri kejawan memiliki arti menjadi orang Jawa atau kejawa-jawaan (menyerupai perilaku orang Jawa) .

Sudah banyak sekali ditemukan istilah kejawen dalam berbagai literatur dan sudah menjadi pendapat umum bahwa Kejawen atau yang sering terdengar di telinga kita Islam Kejawen adalah Islam yang bersumber dari ulama-ulama terdahulu yang tentunya berlandaskan pedoman agama Islam.

Seperti yang dikatakan oleh Simuh (Mistik Islam Kejawen, 1988), kejawen merupakan persilangan dan perpaduan, sinkretisasi antara tradisi Islam dengan tradisi Hindu-Budha yang ada di Jawa. Ajaran Kejawen itu sendiri tidaklah stagnan, dari beberapa sisi masih terus melakukan penyesuaian dan penyerapan terhadap ajaran-ajaran Islam yang masuk ke dalam keraton di Jawa.
Islam, bila kita telaah lebih mendalam lagi dari sumbernya yang paling benar yaitu Al-Qur an. Islam merupakan din yang bermakna kedamaian. Din yang berasal dari Tuhan yang Maha Esa. Sebenarnya agama tak hanya Islam saja, ada agama Katholik, Hindu, Budha, dan lain sebagainya. Ya, walau masih menuai banyak persilihan tentang penobatan kata agama dalam kata Hindhu, Budha, dan Katholik. Selanjutnya, Islam itu terpecah menjadi beberapa golongan, seperti; Sunni, Syiah, dan lain-lain. Dari Sunni sendiri terbagi menjadi beberapa madzhab besar seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Ada yang mengatakan bahwa agama tidak patut bila dinobatkan dengan kata Hindu, Budha, Katholik. Kata agama dalam bahasa Jawa ,merupakan bentuk dari a+gama yang mempunya arti menjalankan aturan yang ditetapkan oleh agama. Jadi, orang yang beragama adalah oranag yang mematuhi aturan dan undang-undang hukum negara. Maka, di Kep. Nusantara itu sendiri sebelum kedatangan Hindu-Budha tidak mengenal istilah agama, namun memakai istilah dharma. Karena dharma yang masuk ke Kep. Nusantara pada zaman dahulu adalah dharma Syiwa, Dharma Wisnu, dan Dharma Buddha. Bahkan Dharma-dharma yang masuk Jawa itupun mengalami penyesuaian diri setelah berinteraksi dengan dharma asli yang ada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, kata dharma digunakan dalam semboyan “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”, berlainan itu satu, tak ada kebenaran mendua .

Keadaan ini berubah ketika berdirinya kerajaan Demak. Yang menggunakan istilah Dharma Islam menjadi undang-undang di kerajaannya. Islam tidak lagi disamakan dengan dharma-dharma yang lain. Dengan kata lain, dengan Islam diangkat sebagai undang-undang negara, maka gugurlah semboyan kebinekaan tersebut. Pluralisme yang menjadi tonggak kehidupan yang berlain-lainan dharmanya itu sirna. Sebab, semua warga negara harus mematuhi undang-undang negara, sedangkan yang dijadikan undang-undang itu adalah “Islam”.

Warga negara Kesultanan Demak diwajibkan untuk mengikuti agama raja, agama ageming aji, agama adalah nilai-nilai yang digunakan oleh raja. Oleh karena itu, terjadilah penaklukan -termasuk dharma-dharma yang dipeluk warganya- oleh Kesultanan Demak terhadap kadipaten-kadipaten yang masih setia kepada Majapahit.
Akibatnya, terjadilah penaklukan dan pemberantasan oleh aliran yang baru masuk terhadap aliran yang sudah mapan di suatu kerajaan, misalnya pemusnahan pengikut Hamzah Fansuri di Aceh oleh kelompok Nuruddin ar-Raniri, pemberantasan pengikut Syamsyuddin Sumatrani dan pelaku dharma tradisional di Sumatra Barat, dan lain-lainnya.

Tradisi, Islam dan Budaya Jawa
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah .
Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah yang paling banyak terpengaruh oleh Hinduisme. Karena Hinduisme memberikan serta mengangkat budaya suku Jawa dan melahirkan berbagai macam kerajaan dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang telah mengakar dalam berbagai macam tradisi dan istiadat orang Jawa.
Dalam hal ini, Hinduisme tidak serta-merta meghapus budaya Jawa. justru malah kebalikannya. Hindu justru merawat dan memupuknya serta mengajarkan masyarakat awam tentang filosofis kehidupan, mengajarkan tentang alam raya beserta dengan teori-teorinya.Yang pada saat itu langsung dipimpin oleh raja-raja yang konon telah diberkati oleh para Dewa. Oleh karena itu, Hinduisme mendarah daging dan menjadi tiang penyangga priyayi Kejawen yang berada di lingkungan istana dan juga membentuk sebuah tradisi sendiri. Sedangkan, masyarakat yang sedikit terkena pengaruh paham Hindu ini rata-rata buta huruf dan membentuk tradisi kecil yang sering dikenal dengan kalangan abangan.
Kemudian dengan datangnya Islam, yang mulai menyebar sekitar abad ke-13 an. ternyata tetap tidak mengganggu budaya asli dinamisme-animisme di Jawa. Yang disebabkan karena budaya ini sangat elastis.
Budaya Jawa asli berkembang sebelum kedatangan islam atau sebelum pra sejarah, orang-orang Jawa kala itu bertumpu dengan budaya animisme dan dinamisme. Dasar pemikiran yang dianut oleh kaum animisme, bahwasanya dunia ini dipenuhi dan diisi oelh makhluk-makhluk ghaib. Mereka percaya bahwa kita dapat berhubungan dengan roh-roh ghaib itu untuk meminta bantuan serta tolongan untuk menguasai duniawi dan juga rohani. Dan biasanya kegiatan semacam ini, untuk mengubungkan diri kita dengan makhluk ghaib itu diadakan dulu semisal upacara penghormatan atau ada perantara-perantara semisal adanya nasi tumpeng, atau bunga-bungaan.
Disamping diisi oleh manusia, hewan dan benda-benda mati lainnya, dunia ini juga diisi oleh roh-roh halus yang sering bagi orang-orang pintar (tua) sering dijadikan wasilah untuk berbuat kebaikan ataupun berbuat kejelekan. Maka, semenjak zaman pra sejarah dan masuknya Islam, kegiatan seperti ini telah berkembang dan tumbuh subur dikalangan para masyarakat untuk sistem perdukunan dengan berbagai macam ilmu kleniknya. Kemudian seiring berkembannya zaman, kegiatan ini oleh para golongan dinamai dengan istilah pedukunan atau yang sejenisnya.
Menurut kebanyakan orang-orang yang paham akan mistik dan sedikit takhayyul, bahwa roh-roh tadi tak lain seperti halnya manusia. Hanya saja, mereka tidak memeliki wadah. Sebenarnya mereka dahulunya adalah seperti manusia yang sempurna, tetapi karena adanya alam kematian maka, ruh itu pindah di alam ruh.
Kepercayaan animisme-dinamisme sebagai sistem pendukunan. Biasanya orang tua (yang dianggap pakar dan pandai) lebih bisa dan lebih pengalaman mengusai dan memahami ilmu pedukunan ini. Dengan adanya ruh yang ghaib, mereka bisa memanfaatkan keberadaanya baik untuk perlindungan ataupun untuk wasilah kebaikan dan kejelekan. Dalam berkembanya istilah, pedukunan ini mengahasilkan istilah klenik-- Ilmu mantra untuk mengusai dan memanfaatkan hal-hal mistik serta penguasaan ilmu-ilmu sihir. Biasanya ada yang ditulis menjadi kitab primbon dengan memanfaatkan huruf-huruf jawa, arab yang terpisah-pisah atau menggunakan arab pegon .
Jadi sistem pedukunan dengan ilmu kleniknya beserta sihir, merupakan produk dasar pikiran animisme. Yang cukup unik dari budaya jawa, walupun orang-orang jawa yang pada waktu itu, boleh dikatan masih buta huruf. Namun, telah hidup teratur dibawah ikatan hukum-hukum adat dan berbagai macam tradisi kuno mereka.
Islamisasi di Jawa
Dalam catatan-catatan sejarah, bahwasanya sejarah masuknya islam ke Indonesia masih banyak menuai perdebatan. Terlebih dalam masalah kapan pertama kali Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya?. Banyak para sejarawan yang mendebatkan masalah ini, ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-11, abad ke-13. Adapula yang mengatakan islam datang ke Indonesia melalui jalur perdagangan yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Dan adapula yang mengatakan datangnya islam melalui India, bukan Arab/timur Tengah.
Pada abad ke-7, bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia yang ditandai dengan adanya para pedagang muslim yang singgah sementara di Sumatera dalam perjalannnya ke China. Dan pada abad ke-11, dengan diketemukannya salah satu makam di daerah Pajang, Gresik. Konon katanya, makam ini makamnya Fatimah Binti Maemon. Pada makam itu tertuliskan huruf Riq’ah -- salah satu dari jenis huruf arab – yang berangka tahun. Kalau dimasehikan tahun 1082 M. Adapun pada abad ke-13, ditandai melalui perjalannnya Marcopolo, yang menyatakan adanya sebuah kerajaan Islam yang berada di Aceh, pada tahun 1292 M .
Islam masuk ke wialayah Jawa ini, melalui berbagi macam kemungkinan:
Baik jalur perdagangan, penduduk pribumi berhubungan secara langsung dengan pedagang-pedagang yang beragama Islam dan secara tidak langsung, mereka mengikuti serta menganut agama yang dibawanya.
Dari beberapa bangsa yang masuk Indonesia, seperti Arab, China, Persia, Gujarat, dan India, datang dan betempat tinggal menetap di Jawa, kemudian melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi. Dan mengikuti kehidupan dan gaya hidup orang jawa setiap harinya. Maka, dengan pendekatan yang secara cultural ini. Maka, terjadilah sebuah dialog budaya dan pergaulan yang penuh dengan toleransi. Walaupun, intensitas pemahaman dan aktualisasi Islam bervariasi menurut kemampuan masyarakat dalam mencernanya.

Sinkretisasi Islam dan Budaya Jawa
Dari sedikit kutipan tulisan diatas, bisa diambil garis tengah bahwasanya Islam masuk ke tanah jawa relatif lebih mudah dan gampang. Baik, orang awam maupun bangsawan. Dengan kata lain, dengan ajaran (mistik) tasawuf yang lebih supel dan lebih bermasyarakat dan dengan mudah menerima adat istiadat masyarakat setempat, maka sangat menarik bagi orang Jawa untuk mengenal dan mempelajari ajaran Islam itu. Dalam bentuk tasawuf itu pula agama Islam disesuaikan dengan tata sosial serta filosofis masyarakat setempat sehingga dengan mudah diterima tanpa adanya pertentangan. Adapun titik kesesuain itu adalah adanya paham bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan (Wihdatul Wujud).
Penyebaran Islam di Jawa diikuti dengan adanya kepustakaan Islam. Baik yang sudah ditulis dengan bahasa dan huruf arab, maupun yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu. Kepustakaan Jawa yang memuat ajaran-ajaran Islam tersebut dinamai dengan kepustakaan Kejawen . Atau sering disebut dengan nama suluk , yang berkaitan dengan ajaran tasawuf.
Ajaran yang masuk di Jawa, dapat dengan mudah diterima oleh orang Jawa. Gagasan-gagasan mistik (tasawuf) yang lebih mendominasi sejak zaman sebelum masuknya Islam. Karena kepercayaan tradisonal (animisme dan dinamisme) dan kebudayaan Hindu-Budha pada waktu itu sangat mendominasi sekali oleh unsur-unsur yang berbau mistik. Bagi kalangan orang Jawa, mistik adalah merupakan sebuah akar dasar dari kebudayaannya.
Ajaran Islam yang masuk ke Jawa, terutama daerah pedalam-pedalaman yang merupakan ajaran atau paham Wihdatul Wujud, dapat diterima langsung oleh orang Jawa. Ajaran wihdatul wujud ada kemiripan dengan kepercayaan orang Jawa, yang telah dipengaruhi dan diodminasi oleh agama Hindu-Budha yang lebih dahuluan masuk ke tanah Jawa. Dengan menganut agama yang baru (Islam) yang bercorak mistik tersebut, orang Jawa masih tetap memepertahankan tradisi agama terdahulunya (Hindu-Budha), semisal mengirim doa, sesajen, selametan bumi, dll.
Sesuai dengan paham serta kemampuan masyarakat Jawa pada waktu itu, ajaran agama yang telah didominasi oleh agama Hindu-Budha, sedikit demi sedikit di ubah menjadi paham Manunggaling Kawula Gusti yang dianut oleh sebagian masyarakat Jawa dengan bercirikan Kejawen. Oleh Suanan kalijaga (Walisongo), tradisi dan budaya orang Jawa ini justru dimanfaatkan untuk mengajak masyarakat Jawa kepada Islam secara hikmah dan bijaksana.
Khatibinnas ‘ala qadri ‘uqulihim inilah, startegi yang dipakai walisongo untuk mengajarkan agar mendakwahkan ajaran agama sesuai dengan nalar dan kosmologi mereka. Karena, bagaimana mungkin menanamkan ajaran agama dengan sesuatu yang asing dengan tata cara masyarakat setempat. Islam tidak serta merta menolak tradisi lama, juga tidak menentang, apalagi menghapuskan sama sekali. Islam, justru bersikap akomodatif, selektif, dan proporsional. Akomodatif yang dimaksud adalah bahwa Islam dibenarkan menerima tradisi lokal, namun ia juga selektif dalam arti bahwa tidak semua tradisi lokal diakomodasi, tetapi tradisi lokal yang ‘baik’ saja (al-qadîm al-shâlih) yang mungkin diterima. Sementara penerimaannya pun harus proporsional.
Corak keberislaman di Indonesia yang masih mewarisi produk Islamisasi para pendakwah di masa lampau yang dilakukan para ‘wali’ itu masih terus dilestarikan sebagai ekspresi ke-Islam-an di satu sisi dan ekspresi lokalitas di sisi yang lain. Ini terlihat dengan corak keberagamaan yang masih mempertahankan tradisi lokal dalam laku kesehariannya. Meskipun sebagai orang Islam, Masyarakat Kampung Naga misalnya masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Dalam memperhitungkan cuaca, mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan posisinya menentukan curah hujan. Mereka juga membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi sekaligus juga mempercayai adanya dewa-dewa diktekapata, somamarocita, angarakata, budhaintuna, laspatimariha, sukramangkara, dan tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam .
Begitu juga dengan tradisi upacara yang masih berlaku di Solo/Surakarta. Semisal dengan pertunjukan wayang kulit, Garebeg Mulud/ Sekaten (Syahadatain) yang lengkap dengan gunungan-gunungan nasi .
Dengan demikian, tradisi keberagamaan Islam ini tidak semata-mata copy-paste dari corak keberagamaan yang ada di Timur Tengah. Melainkan produk kreatif dari tradisi intelektual sehingga melahirkan corak tersendiri dalam beragama yang kemudian dikenal dengan Islam Indonesia. Sebuah corak keberagamaan Islam yang mampu berdamai dengan tradisi lokal.
Penutup
Sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Indonesia merupakan keniscayaan sejarah sebagai akumulasi dari dialog dan sapaan antarbudaya yang dibawa oleh para pedagang muslim yang memiliki karakteristik hidup yang lebih dinamis dibandingkan dengan masyarakat agraris atau petani. Dinamika kehidupan para pedagang dari berbagai daerah (Arab, India, dan Persia) ini membuka keragaman budaya Islam-Indonesia yang kemudian terbangun kuat lewat interaksi perdagangan, perkawinan, dan pewarisan kekuasaan politik di Indonesia.
Sikap akomodatif ini pula yang telah mengantarkan umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia. Tanpa sikap akomodatif seperti ini gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Indonesia akan terasakan begitu kuat. Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan dengan watak sosiologis dan geografis yang lebih memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap yang akomodatif. Islam di Indonesia akan tetap berkembang selama masih membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya.

0 comments:

 

Selamat Datang

Selamat Datang, di laman blog Barrock Alishlach

Sepintas Tentang Admin

Nama saya Barrock Alishlach, anak kelahiran Semarang, 7 Juli 1990.

Info